Foto Sumber: http://www.berbagifun.com/2011/12/kisah-perang-topat-di-pura-lingsar.html
“Lain Lading Lain Belalang, Lain
Lubuk Lain Ikannya”. Itulah peribahasa yang menggambarkan kondisi saat
menginjakkan kaki di tanah Lombok. Ada yang unik dalam tradisi perayaan Hari
Raya Idul Fitri. Jika di Yogyakarta (Jawa secara umum) Perayaan Hari Raya Idul Fitri
identik dengan ketupat dan menjadi makanan “wajib” yang disantap saat perayaan
hari H Idul Fitri, namun di Lombok ternyata berbeda. Masyarakat Lombok baru
menikmati ketupat setelah H+6 Idul Fitri, kenapa bias begitu? Inilah yang
dinamakan dengan tradisi Perayaan
Lebaran Ketupat atau Lebaran Topat. Tradisi. Nah loh
kalo di Jawa ya sudah habis ketupatnya, disini baru dimulai hehe…
Agama Islam mengajarkan bahwa ada
keutamaan bagi orang orang yang melanjutkan puasa setelah
syawal. Puasa Syawal selama 6 hari untuk mensyukuri
berakhirnya puasa sunah tersebut, warga masyarakat di Lombok melaksanakan
lebaran kedua setelah Idul Fitri yang disebut dengan
nama Lebaran Ketupat atau Lebaran Topat. Kata
“topat” diambil dari kata ketupat, yakni penganan masyarakat Lombok dihidangkan khusus pada perayaan Lebaran Ketupat.
“Tradisi Perang Topat” yang
merupakan tradisi
turun temurun yang mulai dilakukan sepeninggal
penjajahan Bali di Lombok di masa lampau. Tradisi
ini di lakukan dengan cara saling lempar dengan menggunakan ketupat antara Ummat Islam dan Ummat Hindu Lombok. Dengan
menggunakan pakaian adat khas Sasak dan Bali
ribuan warga Sasak dan umat Hindu bersama-sama dengan damai merayakan upacara keagamaan yang dirayakan tiap tahun di
Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat,
Nusa Tenggara Barat.
Tradisi Perang Topat
yang diadakan di Pura terbesar di Lombok (peninggalan kerajaan Karangasem) ini merupakan pencerminan dari kerukunan umat
beragama di Lombok. Prosesi Perang Topat
dimulai dengan mengelilingkan sesaji berupa makanan, buah, dan sejumlah hasil bumi sebagai sarana persembahyangan dan
prosesi ini didominasi masyarakat Sasak dan
beberapa tokoh umat Hindu yang ada di Lombok. Sarana persembahyangan seperti kebon odek, sesaji ditempatkan
didalam Pura Kemalik.
Perang topat merupakan rangkaian
pelaksanaan upacara
pujawali yaitu upacara sebagai ungkapan rasa syukur
umat manusia yang telah diberikan keselamatan,
sekaligus memohon berkah kepada Sang Pencipta. Perayaan tersebut mengandung dua
dimensi yaitu dimensi sakral dan sosial. Dimensi sakral berkaitan dengan persepsi dan pengharapan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa dan dimensi sosial berkaitan dengan
upaya menjaga harmoni kehidupan antar sesama. Lebaran Topat juga bisa diartikan
menjauhkan diri dari nafsu kebendaan dan membersihkan batin dari sikap dengki dan iri hati setelah nuraninya
terjerembab oleh ego dan kemeriahan budaya
materi yang semu. Ritual berseraup atau membasuh muka dengan air memberi
makna bahwa tindakan tersebut merupakan cara untuk
membersihkan kotoran yang melekat di wajah.
Jika wajah dan hatinya bersih, maka orang itu tidak akan sakit baik secara fisik ataupun mental.
Nah itulah keunikan lebaran Idul
Fitri di tanah Lombok, kalau di Jogja Grebeg Sekaten kali ya? Hehe… Intinya,
apapun budaya, tradisi dan kepercayaan masyarakatnya yang terpenting adalah
saling menjunjung tinggi sikap toleran terhadap perbedaan. Perbedaan bukan
halangan untuk bersatu, justru perbedaan adalah sarana untuk saling mengenal
dan memahami arti kebhinekaan bangsa Indonesia, walaupun berbeda-beda namun
tepat satu jua. Semoga bermanfaat!
Salam IW_Project!
Referensi:
http://www.wisatadilombok.com/2013/05/tradisi-lebaran-ketupat-perang-topat-di.html
http://www.berbagifun.com/2011/12/kisah-perang-topat-di-pura-lingsar.html
0 komentar:
Posting Komentar